🕊️
Memuat Konten...
Opini
10 dilihat Muhammad Iqbal Anugerah T 20 December 2025

Opini Ilmiah: Penerapan Wasiat Wajibah bagi Ahli Waris Non-Muslim dalam Hukum Waris Islam di Indonesia – Perspektif Putusan Peradilan, Prinsip Keadilan, dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Wasiat wajibah merupakan instrumen hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia yang awalnya dirancang untuk memberikan bagian harta peninggalan kepada anak angkat atau orang tua angkat yang terhalang waris (Pasal 209 KHI), dengan batas maksimal sepertiga harta warisan. Namun, dalam praktik peradilan, konsep ini telah diperluas melalui yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) untuk mengakomodasi ahli waris non-Muslim, meskipun secara normatif hukum waris Islam klasik melarang pewarisan lintas agama berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim" (H.R. Bukhari dan Muslim).

 

Beberapa putusan MA yang menjadi landmark dalam hal ini antara lain:

- Putusan No. 368 K/AG/1995 dan No. 51 K/AG/1999, yang memberikan wasiat wajibah kepada anak kandung non-Muslim dengan bagian setara ahli waris Muslim (maksimal 1/3).

- Putusan No. 16 K/AG/2010, yang memperluasnya kepada istri non-Muslim dengan pertimbangan pengabdian dan harmoni rumah tangga.

- Putusan No. 331 K/AG/2018, yang memberikan wasiat wajibah kepada suami non-Muslim (sebesar 1/4) dengan alasan keadilan dan perawatan terhadap pewaris.

 

Pembaruan ini mencerminkan ijtihad kontemporer hakim untuk menyesuaikan hukum faraidh (waris tetap) dengan realitas masyarakat Indonesia yang plural. Indonesia memiliki komposisi agama mayoritas Muslim (sekitar 87% penduduk berdasarkan data sensus terkini), namun dengan minoritas signifikan (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya). Dalam konteks ini, larangan mutlak waris beda agama dapat menimbulkan ketidakadilan sosial, terutama dalam keluarga campur atau kasus konversi agama, di mana anak atau pasangan non-Muslim yang telah berkontribusi dalam rumah tangga merasa dirugikan.

 

Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), penerapan wasiat wajibah ini selaras dengan prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan di depan hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin "pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia" tanpa diskriminasi, sementara Pasal 28I ayat (2) melarang diskriminasi berdasarkan agama. Kebebasan beragama (Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945) adalah hak non-derogable, yang mencakup hak untuk tidak didiskriminasi dalam hak properti hanya karena perbedaan keyakinan. Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Pasal 18 juga menegaskan kebebasan beragama tanpa diskriminasi. Dengan demikian, wasiat wajibah menjadi solusi kompromistis yang menjaga prinsip aqidah Islam (tidak memberikan waris langsung yang bersifat ijbari) sekaligus menghormati HAM dengan memberikan akses terbatas melalui mekanisme wasiat (maksimal 1/3, sehingga tidak mengganggu hak ahli waris Muslim utama).

 

Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kontroversi. Beberapa ulama dan peneliti berpendapat bahwa perluasan wasiat wajibah kepada non-Muslim bertentangan dengan KHI yang membatasi hanya untuk anak/orang tua angkat, serta prinsip fikih bahwa aqidah lebih utama daripada nasab (hubungan darah). Rekomendasi pembaruan KHI sering muncul untuk memperkuat larangan ini, agar tidak melemahkan doktrin waris Islam. Di sisi lain, praktik ini telah menjadi yurisprudensi tetap MA sejak 1995, yang mengutamakan maqasid syariah (tujuan syariat) seperti keadilan (adl) dan kemaslahatan umat di masyarakat plural.

 

Secara ilmiah, opini saya mendukung penerapan wasiat wajibah bagi ahli waris non-Muslim sebagai inovasi hukum progresif yang kontekstual. Ini bukan pelanggaran terhadap syariah, melainkan bentuk maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan nash) untuk menjaga harmoni sosial dan keluarga di Indonesia. Tanpa instrumen ini, potensi konflik waris beda agama akan meningkat, yang berpotensi melanggar HAM lebih luas (diskriminasi dan ketidakadilan ekonomi). Namun, untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan revisi eksplisit dalam KHI atau undang-undang baru yang mengatur batas jelas, seperti maksimal 1/3 dan syarat pengabdian/harmoni rumah tangga, agar tetap menjaga keseimbangan antara prinsip Islam dan nilai konstitusional HAM.

 

Pendekatan ini membuktikan bahwa hukum waris Islam di Indonesia mampu beradaptasi tanpa kehilangan esensi, sekaligus memperkuat Pancasila sebagai dasar negara yang menjamin keadilan bagi semua warga, termasuk minoritas agama.

 

### Daftar Referensi

 

1. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991), Pasal 209.

 

2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998.

 

3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.

 

4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16 K/AG/2010.

 

5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 331 K/AG/2018 tanggal 31 Mei 2018.

 

6. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D, 28E, 28I, dan 29.

 

7. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, Pasal 18.

 

8. Mutmainnah, Iin. “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Beda Agama (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368K/AG/1995).” DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 17, No. 2, 2019.

 

9. Rizkal. “Pemberian Hak Waris Dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim Berdasarkan Wasiat Wajibah: Kajian Putusan Nomor 16K/AG/2010.” Jurnal Yudisial, Vol. 9, No. 2, 2016.

 

10. Nugraheni, Destri Budi, dkk. “Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah Di Indonesia.” Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2, 2010.

 

11. Gafur, Abdul. “Analisis Konsep Wasiat Wajibah Dalam KHI Dan Putusan MA.” Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum, Vol. 10, No. 1, 2022.