🕊️
Memuat Konten...
Opini
6 dilihat Muhammad Iqbal Anugerah T 29 December 2025

Tarif Gazebo Pantai Drini dan Ancaman Hak atas Akses Ruang Publik

Tarif Gazebo Pantai Drini dan Ancaman Hak atas Akses Ruang Publik

 

Keluhan wisatawan terkait tarif sewa gazebo atau tikar di Pantai Drini, Gunungkidul, Yogyakarta, yang viral di media sosial, menyingkap persoalan mendasar dalam tata kelola pariwisata dan perlindungan hak asasi manusia. Tarif sebesar Rp50.000 per dua jam bukan sekadar soal mahal atau murah, melainkan mencerminkan persoalan transparansi, kepastian hukum, dan batas pengelolaan ekonomi atas ruang publik.

 

Pantai merupakan ruang publik yang bersumber dari penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akses terhadap pantai sebagai ruang publik adalah bagian dari hak warga negara yang tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang melalui praktik ekonomi yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

 

Dalam konteks regulasi nasional, penyelenggaraan pariwisata di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2025. Perubahan ini menegaskan pentingnya kepastian hukum, perlindungan wisatawan, pelayanan yang adil, serta tata kelola destinasi yang transparan dan berkelanjutan. Prinsip tersebut menuntut agar setiap pungutan atau tarif fasilitas wisata ditetapkan secara terbuka, memiliki dasar hukum, dan diinformasikan secara jelas kepada publik.

 

Praktik penetapan tarif gazebo di Pantai Drini yang disampaikan secara lisan atau berdasarkan kesepakatan internal pengelola lokal berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum dan transparansi. Dari perspektif hak asasi manusia, kondisi ini dapat menciptakan hambatan tidak langsung terhadap hak masyarakat untuk menikmati ruang publik, khususnya bagi wisatawan dengan keterbatasan ekonomi atau akses informasi.

 

Hak atas rekreasi dan kebudayaan merupakan bagian dari hak atas kesejahteraan sosial sebagaimana diakui dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketika akses terhadap ruang publik dipersulit oleh mekanisme tarif yang tidak jelas dan tidak terstandar, negara dapat dinilai lalai dalam kewajibannya untuk melindungi hak-hak dasar warga negara.

 

Prinsip non-diskriminasi juga menjadi isu penting. Pemberlakuan tarif yang berbeda berdasarkan waktu atau kondisi tertentu tanpa pemberitahuan yang memadai berpotensi menempatkan pengunjung dalam posisi yang tidak setara. Dalam kerangka UN Guiding Principles on Business and Human Rights, negara berkewajiban melindungi masyarakat dari praktik usaha, termasuk di sektor pariwisata, yang dapat berdampak negatif terhadap pemenuhan hak asasi manusia.

 

Langkah Dinas Pariwisata yang menerbitkan surat edaran larangan menaikkan harga secara tidak wajar merupakan respons awal yang positif, namun belum cukup. Surat edaran bersifat administratif dan tidak menggantikan kebutuhan akan regulasi daerah yang lebih kuat. Pemerintah daerah perlu menetapkan peraturan yang secara eksplisit mengatur klasifikasi fasilitas berbayar, batas tarif, kewajiban transparansi harga, serta mekanisme pengaduan bagi pengunjung.

 

Kasus Pantai Drini menunjukkan bahwa pariwisata berbasis masyarakat harus berjalan dalam koridor hukum dan HAM yang jelas. Tanpa regulasi yang transparan dan berkeadilan, pengelolaan ruang publik berisiko bergeser dari sarana kesejahteraan bersama menjadi sumber ketidakadilan sosial.

 

Daftar Referensi:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2025.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

4. UN Guiding Principles on Business and Human Rights, United Nations, 2011.

5. Pemberitaan Harianjogja.com dan Detik.com terkait tarif sewa gazebo Pantai Drini, 2025.